Urutan Sapta Loka dari Atas ke Bawah
Seperti dijelaskan di atas, Sapta Loka adalah gabungan dari dua alam, yaitu Bwah Loka dan Swah Loka. Dilansir dari laman Tata Ruang Provinsi Bali, berikut ini urutan Sapta Loka dari atas ke bawah.
Satya Loka adalah lapisan paling atas dari Swah Loka dan Sapta Loka. Tempat ini merupakan tempat dari Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa yang diyakini umat Hindu. Lahir di tempat ini dapat menyatu dengan Sang Hyang Widhi untuk mencapai moksa, sehingga tidak perlu lagi reinkarnasi ke alam dunia lagi
Tapa loka merupakan alam kedua dari atas yang disebut kesadaran kosmik. Dari sini, semua makhluk termasuk para dewa di Swah Loka sebelumnya dibimbing untuk menuju pembebasan.
Jana Loka merupakan alam ketiga teratas tempat sang jiwa bisa melanjutkan evolusi batin. Lahir di sini berarti sudah tidak merasakan samsara. Akan tetapi mereka tetap menyelesaikan sisa putaran karmanya di lapisan alam ini.
Maha Loka adalah lapisan keempat dari atas pada Sapta Loka. Jiwa yang lahir di Maha Loka sudah tidak merasakan roda samsara. Mereka bisa melanjutkan evolusi batin dan menyelesaikan sisa putaran karmanya di sini.
Namun banyak jiwa yang lahir di Maha Loka yang melakukan reinkarnasi lagi karena rasa welas asih. Mereka lahir kembali ke dunia untuk menjadi membebaskan umat manusia dan sekaligus melanjutkan evolusi batinnya.
Pada tingkat Swarga Loka, jiwa-jiwa belum berhenti merasakan roda samsara. Mereka harus kembali lahir ke dunia untuk melanjutkan evolusi batinnya serta menyelesaikan sisa putaran karma wasananya sendiri.
Namun pada tingkat ketiga dari bawah ini, jiwa-jiwa sudah merasakan kebahagiaan yang melebihi kesenangan bumi. Beberapa pihak menyebut tingkatan ini sebagai surga yang sementara.
Alam Halus Bwah Loka
Alam kedua dari bawah ini kondisinya cukup mirip dengan bumi. Jiwa-jiwa masih rindu akan keinginan-keinginan duniawi dan merasakan kesedihan serta kebahagiaan yang seperti di bumi.
Di sini para jiwa mengantre untuk menuju ke alam swarga atau neraka, atau kembali mengalami reinkarnasi. Pada fase ini, jiwa yang tidak sabar bisa mengontak dunia material melalui mimpi, namun hal ini berbahaya bagi mereka dan justru bisa masuk ke Bhur Loka.
Mayapada adalah bumi yang kita tempati. Disebut maya karena dunia ini bersifat maya atau tidak kekal. Mayapada ini tidak hanya ditempati manusia, tetapi makhluk-makhluk lain, termasuk roh halus.
Jiwa yang terlahir kembali ke dunia ini justru berkesempatan yang baik untuk merealisasi moksa. Mereka bisa kembali menjalankan kewajibannya dan menjaga keharmonisan sesuai Tri Hita Karana sehingga bisa mencapai dunia tertinggi.
Nah itulah tadi penjelasan mengenai Sapta Loka yang merupakan tujuh tingkatan alam atas. Tujuh alam ini berkaitan dengan roda kehidupan jiwa-jiwa. Jika dapat menjalani kewajiban dengan baik, maka akan bisa naik ke alam selanjutnya untuk mencapai moksa.
Konsep Sapta Loka Sapta Petala
Para ahli tata surya modern telah mengungkapkan bahwa terdapat beberapa planet. Dalampandangan agama Hindu juga terdapat beberapa planet. Pandangan aliran Surya-Sidhanta menyebutkan terdapat tujuh planet, yakni planet Aditya, Soma, Budha, Sukra, Angaraka, Brihaspati, dan Saniscara. Jika dikaitkan dengan nama planet-planet modern, akan tampak, sebagai berikut. 1. Planet Matahari dalam agama Hindu dikenal dengan nama Aditya. 2. Planet Bumi dalam agama Hindu dikenal dengan nama Soma. 3. Planet Merkurius dalam agama Hindu dikenal dengan nama Budha. 4. Planet Venus dalam agama Hindu dikenal dengan nama Sukra. 5. Planet Mars dalam agama Hindu dikenal dengan nama Angaraka. 6. Planet Jupiter dalam agama Hindu dikenal dengan nama Brihaspati. 7. Planet Saturnus dalam agama Hindu dikenal dengan nama Saniscara. Planet Neptunus dan Uranus tidak disebutkan dalam pandangan aliran Surya Sidhanta. Aliran ini menyebut adanya planet Rahu dan Ketu. Kedua planet yang terakhir disebutkan aliran Surya Sidhanta tidak dapat disamakan dengan Neptunus dan Uranus (Wikana, 2010:108). Planet-planet dalam agama Hindu sering disebut Brahmānda. Brahmānda dalam kitab Pūraṇa dijelaskan sangat banyak jumlahnya. Selain planet-planet tersebut, agama Hindu mengenal loka-loka atau alam-alam. Menurut pandangan agama Hindu, terdapat 14 loka atau alam, yakni 7 lapisan loka ke atas dan 7 lapisan loka ke bawah. 96 Kelas III SD
BTujuh lapisan alam ke atas disebut dengan sapta loka, yakni: ka a Brahmā loka Tapa loka Jana loka Maha loka Svarga loka huvar lo Bhur loka Tujuh lapisan alam ke bawah disebut dengan sapta patala, yakni: Atala Vitala Sutala Talatala Mahatala Rasatal Patala Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti 97
REGIONAL EVENTS 2012-2013
International Defense & Military Expo 2012-2013
"Buka matamu Langlang, kau sudah sampai ditempat eyang," ucap Eyang Banu Raga menyuruh Langlang Cakra Buana membuka matanya yang sedari tadi terpejam.
Pemuda itu langsung terperanjat saat membuka matanya, pasalnya karena sekarang dia berada ditempat yang benar-benar asing. Saat ini dirinya berada disebuah istana kerajaan yang megah. Istana itu cukup luas, banyak pohon-pohon bambu dan lainnya yang mengelilingi istana tersebut.
Bangunan istana itu nampak menawan, diatasnya terlihat ada sebuah patung bergambar ular yang dibuat dari batu marmer. Jelas, Langlang Cakra Buana sempat tidak percaya akan hal ini. Jangankan ke istana, ke kota ataupun desa dekat ibukota kerajaan saja dirinya belum pernah. Jadi, bagaimana bisa pemuda itu langsung percaya bahwa dia memang berada disebuah istana saat ini?
"Tenanglah Langlang, ini memang benar sebuah istana. Lebih tepatnya istana kerajaan ghaib, kau sekarang berada di Kerajaan Sukma Saketi. Dan sekarang ini kau hanyalah berupa sukma saja, dirimu yang asli sedang terbaring tidur di bangunan tua Hutan Pasiraga. Jangan panik, eyang tidak akan mencelakakan dirimu," kata Eyang Banu Raga.
Eyang Banu Raga mengatakan hal tersebut karena dirinya sudah melihat kepanikan tergambar jelas di wajah pemuda itu. Memang, baru kali ini saja ada manusia luar yang dia bawa ke istana ghaib miliknya.
Kerajaan Sukma Saketi bertempat di Hutan Pasiraga, meskipun sering dilewati para penduduk sekitar jika siang hari, tapi bangsa Kerajaan Sukma Saketi tidak pernah mengganggu. Terlebih karena tidak semua orang bisa masuk ke dalamnya, sebab jika ingin kesana maka harus melewati gerbang ghaib terlebih dahulu.
Eyang Banu Raga mulai membawa masuk Langlang Cakra Buana ke dalam istananya, sepanjang perjalanan masuk pemuda itu melihat banyak sekali para prajurit yang berjejer sedang berjaga.
Didalam istana pun dia melihat ada beberapa dayang yang sedang berdiri di belakang kursi singgasana, dayang itu sangat cantik layaknya bidadari. Tapi sayang … itu hanyalah kerajaan ghaib saja.
Lalu Eyang Banu Raga mempersilahkan duduk kepada Langlang Cakra Buana. Tak lupa pemuda itu disuguhi buah-buahan dan air dari kendi yang terbuat dari tanah liat.
"Langlang, Eyang akan memberikan bekal untukmu dalam mewujudkan cita-cita yang mulia itu. Eyang harap kamu bisa membawanya dengan baik," kata Eyang Banu Raga mengawali pembicaraan.
"Maaf eyang, bekal yang dimaksud eyang itu apa?" pemuda itu masih kebingungan dengan ucapan Eyang Banu Raga.
"Eyang akan memberikan sebuah ajian padamu. Eyang harap ajian ini bisa berguna dan membantu dalam perjalananmu. Ajian itu bernama Ajian Sapta Pangurungu dan Ajian Dewa Tapak Nanggala," kata Eyang Banu Raga.
"Ajian apa itu eyang? Maaf jika aku belum mengetahuinya eyang," kata Langlang Cakra Buana.
"Biar eyang jelaskan padamu, Ajian Sapta Pangrungu adalah sebuah ajian yang berguna untuk pendengaran. Jika kamu memiliki ajian ini, maka ketika ada orang yang membicarakanmu walau terhalang gunung sekalipun, kau akan tetap bisa mendengarnya. Sedangkan Ajian Dewa Tapak Nanggala adalah sebuah ajian tapak yang dimana ketika kau menapakkan tanganmu pada musuh, maka musuh itu akan merasakan sakit beberapa kali lipat dan tentunya rasa sakit itu akan bertahan cukup lama," kata Eyang Banu Raga menjelaskan kepada Langlang Cakra Buana.
"Konon, dahulu kala ajian ini pernah dimiliki oleh tokoh satria pewayangan yaitu Raden Gatot Kaca, gunakanlah dua ajian ini untuk melawan keangkara murkaan dan menyatukan tanah Pasundan," ucap Eyang Banu Raga meminta supaya kedua ajian itu digunakan dalam mewujudkan cita-cita mulia Langlang Cakra Buana, lebih tepatnya cita-cita semua leluhur.
"Sebelumnya terimakasih eyang. Sebuah kehormatan bisa mewarisi salah satu ajian dari Eyang Banu Raga. Aku berjanji akan mengingat semua wejangan yang eyang berikan," kata Langlang Cakra Buana sembari memberi hormat.
Alasan Eyang Banu Raga mewariskan ajian kepada Langlang Cakra Buana tak lain karena bangsa mereka pun ingin melihat tanah kelahirannya bisa bersatu, tidak terpecah belah seperti ini. Para pendekar aliran putih terdahulu sangat menginginkan empat kerajaan di tanah Pasundan bersatu menjadi kekuatan yang lebih besar supaya diakui diseluruh nusantara.
Tapi rupanya impian itu tidak mudah, dimana ketika para pendekar aliran putih menginginkan perdamaian, maka selalu ada aliran hitam yang mengagalkan. Setiap lahir pendekar hebat dari aliran putih, maka akan lahir pula pendekar yang lebih hebat dari aliran hitam.
Tapi meskipun begitu, para pendekar aliran putih tetap berjuang mati-matian demi mewujudkan judukan impian bersama. Sayang, belum sempat keinginan mereka tercapai tapi Sang Hyang Widhi sudah memanggilnya. Harapan mereka untuk menyatukan kerajaan Pasundan khususnya Eyang Banu Raga dan Eyang Resi Patok Pati adalah kepada pemuda yang kini ada didepannya, Langlang Cakra Buana.
Setelah faham niat dan tujuan Eyang Banu Raga, Langlang Cakra Buana segera bersiap-siap untuk melakukan sebuah ritual. Dia dibawa ke sebuah ruangan tempat pemandian khusus.
Akhirnya ritual dimulai, Langlang Cakra Buana saat ini sedang melakukan ritual mandi kembang tujuh rupa. Setelah semuanya selesai, Eyang Banu Raga segera mewariskan dua ajian tadi kepada pemuda itu dengan cara menempelkan jari telunjuknya di kening.
Hal ini mungkin serasa ganjil, tapi ketika seseorang sudah disebut eyang ataupun resi, maka ilmu kanuragan yang dia miliki sudah lebih tinggi dari seorang guru biasa.
Setelah semuanya selesai, Eyang Banu Raga segera berniat mengembalikan sukma Langlang Cakra Buana ke raganya. Bagaiamana pun juga tidak baik jika sukma pergi teralu lama dari raga.
"Ingat wejangan eyang Langlang, eyang selalu mengawasimu dari sini. Semoga impian para pendekar terdahulu dalam menyatukan empat kerajaan Pasundan bisa terwujud lewat dirimu. Sang Hyang Widhi selalu melindungi mereka yang berhati bersih," kata Eyang Banu Raga memberikan wejangan kepada Langlang Cakra Buana.
"Baik eyang, semua wejangan eyang akan selalu aku ingat. Sampai berjumpa lagi eyang, sampurasun …" kata Langlang Cakra Buana, setelah itu tiba-tiba sukmanya hilang dari pandangan Eyang Banu Raga.
***Karya ini telah kontrak dengan NovelToon, dilarang membajak karya seperti mencetak ulang tanpa izin.***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Masyarakat Bali mengenal istilah Sapta Loka dalam kosmologi atau cabang astronomi yang menyelidiki asal-usul, struktur, dan hubungan ruang waktu dari alam semesta. Secara umum, Sapta Loka diartikan sebagai tujuh tingkatan alam atas. Apa maksudnya? Yuk simak dulu pengertian dan urutan dari Sapta Loka.
Pengertian Sapta Loka
Secara etimologi, sapta dalam KBBI berarti tujuh, sedangkan loka adalah tempat atau dunia, sehingga Sapta Loka artinya tujuh dunia. Namun dalam kosmologi masyarakat Bali, Sapta Loka adalah tujuh tingkatan alam atau dunia atas, sedangkan sapta petala adalah tujuh tingkatan alam atau dunia bawah.
Dari laman Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mpu Kuturan Singaraja, Sapta Loka adalah tempat yang terdapat di alam semesta bagian atas yang dikenal sebagai keberadaan dari bhuwana agung atau makrokosmos. Tempat ini menjadi tempat berbagai makhluk, mulai dari manusia hingga dewa-dewa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari laman Tata Ruang Provinsi Bali, secara lebih luas alam semesta ini dibagi menjadi tiga, yaitu disebut Tri Loka atau Tri Bhuwana. Tri Loka terdiri dari bhur loka yang berarti alam neraka, bwah loka yang berarti alam manusia, dan swah loka yang merupakan alam para dewa. Gabungan dari Bwah Loka dan Swah Loka inilah yang disebut Sapta Loka.
Konsep ini sering digunakan dalam desain bangunan atau benda tertentu. Seperti pada pura, sering kali digunakan filosofi Sapta Loka atau Tri Loka yang dilambangkan dengan bangunan berundak hingga berjumlah tiga atau tujuh.
Masyarakat Bali memang sering menggunakan filosofi dalam dalam berbagai hal. Misalnya konsep Tri Hita Karana. Dilansir dari laman Universitas Negeri Yogyakarta, Tri Hita Karana adalah konsep keseimbangan hidup manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan lingkungan alam. Konsep ini salah satunya digunakan dalam sistem irigasi tradisional subak.
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Melde dich an, um fortzufahren.
Menjadi pemimpin memang harus mendekatkan batin, pemikiran, ucapan dan rasa hatinya kepada rakyat agar selalu paham pada kondisi, keresahan, kesusahan dan mobah mosiking atine kawula dasih.
Pemimpin harus menjadi negarawan. Dia harus melambari semua keputusan, tindakan, dan ucapannya dengan ngelmu teguh seperti Sultan Agung, harus bisa ngrasuk aji gineng seperti Prabu Anglingdarma, harus menguasai aji sapta pangrungu seperti Gatutkaca.
Ngelmu teguh adalah perpaduan pengetahuan administrasi dan kearifan untuk mengelola kawasan. Aji gineng adalah mitos tradisional, sebuah ilmu khusus yang dimiliki Prabu Anglingdarma untuk bisa memahami bahasa manusia maupun bahasa hewan, sebagai gambaran sebagai raja harus mampu memahami semua aspirasi rakyatnya.Sedangkan aji sapta prangrungu adalah keahlian melatih ketajaman fungsi pendengaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara harfiah, aji sapta pangrungu bisa diartikan kekuatan tujuh pendengaran. Secara maknawi, aji sapta pangrungu merupakan gambaran keahlian seseorang yang mampu melatih pendengarannya untuk bisa menguasai sumber suara-suara paling rendah hingga suara paling keras yang tidak bisa ditangkap oleh pendengaran normal manusia.Keahlian ini bisa didapat dengan latihan khusus yang cukup berat untuk melatih syaraf-syaraf renik menjadi lebih peka pada sumber suara.
Dalam kultur pemaknaan bahasa kita, ada angka-angka khusus yang menunjukkan jumlah banyak yang terhingga. Misalnya angka tujuh, sembilan, seribu, selaksa dan sejuta.
Karena itulah penggunaan kata sapta dalam penamaan sapta pangrungu harus diartikan bahwa yang telah menguasai keahlian atau ilmu tersebut sudah mampu mendengar suara dari tujuh benua, tujuh lautan, tujuh kedalaman batin dan tujuh kedalaman hati.
Ujian mengenai apakah ngelmu teguh, aji gineng dan aji sapta pangrungu itu benar-benar masih melekat sebagai daya linuwih para pemimpin, saat inilah salah satu momentum yang tepat untuk memastikan.
Persoalan memang bukan sekedar menyaksikan kebingungan emak-emak cari minyak goreng yang memang benar-benar tak mereka temukan di warung tetangga yang lalu dijawab dengan silat lidah sembari cuci tangan dengan menyebut kelangkaan terjadi karena ulah satu dua spekulan. Namun ini adalah tanggung jawab pemangku kepentingan menjamin keberadaan sembako, minyak goreng masuk di dalamnya.
Masalahnya bukan sekedar sejuta ngungun di benak jutaan warga bangsa, di saat jutaan hektare hutan paru-paru dunia dibabat untuk perkebunan sawit, tapi kini imbalannya adalah tak ada minyak goreng yang bisa didapatkannya. Namun ini adalah tanggung jawab moral dan kepantasan kerja para pemangku kebijakan untuk memastikan rakyatnya tidak menjadi korban mainan patgulipat politik dan para bandar.
Pun, urusannya bukan sekadar urusan kreativitas cara mengolah makanan tak cuma hanya bisa digoreng, tapi juga bisa direbus, dikukus atau dirujak. Namun ini adalah soal kepantasan dan keharusan yang harus ditanggung para pemimpin mengelola hajat hidup orang banyak yang tak lagi dinaungi daya linuwih dari jiwa dan roh aji gineng, aji sapta pangrungu, aji nawa pandulu, aji sewu pangganda, aji sakethi panggraita, aji sayuta pangrasa dan daya linuwih lain yang seharusnya memandu mereka.
Muchus Budi R, wartawan detikcomTulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi
Kecepatan untuk mengetahui posisi asal tembakan lawan menjadi poin penting dalam gelar tempur Artileri Medan (Armed). Pasalnya dengan diketahuinya posisi asal tembakan, maka akan memudahkan untuk dilakukannya tembakan artileri balasan.
Baca juga: Radar Fire Finder Armed TNI AD – Pemburu Posisi Meriam Lawan
Dalam duel artileri, lintasan proyektil howitzer dan roket dapat diukur dan dianalisa oleh masing-masing kubu, maka tak heran bila di Armed dikenal jenis self propelled howitzer dan MLRS (Multiple Launch Rocket System), yang selain unggul dalam deployment, juga dapat lebih cepat untuk menggeser posisi steling guna menghindari tembakan balasan dari lawan.
Menyadari pentingnya mengetahui posisi asal tembakan secara cepat, TNI AD lewat Dislitbangad telah memberi perhatian khusus. Sebagai buktinya pada Pameran Alutsista TNI AD tahun 2013 di Lapangan Monas, Pusdik Armed TNI AD memperkenalkan sosok radar Fire Finder yang terpasang di kontainer rantis 4×4.
Secara teori radar Fire Finder dapat memancarkan sinyal dengan kelebaran sebaran 45 derajat dengan jarak 5.000 meter. Karena tampil di garda depan pertempuran, sifat radar ini harus punya mobilitas tinggi dan mendapat perlindungan. Sistem radar ini dapat dioperasikan oleh 2 awak (1 pengemudi dan 1 operator). Menghadapi eskalasi pertempuran yang panjang, radar ini pun dirancang untuk dioperasikan secara terus menerus sesuai kebutuhan operasi, salah satunya dengan dukungan genset. Secara umum, data yang dihasilkan dari radar Fire Finder mencakup kaliber proyektil, kecepatan lintasan, waktu terbang, titik jatuh, dan kedudukan senjata asal proyektil.
Dalam simulasi pertempuran, respon data dari Fire Finder harus mendapat penanangan cepat dari Satbak (Satuan Tembak), ini tak lain guna menghindari berpindahnya posisi meriam lawan setelah melakukan aksi penembakan. Nah, berangkat dari kebutuhan akan elemen kecepatan dan mobilitas, sistem Fire Finder harus dibuat lebih ringkas dan kompak, maklum unit pencari posisi asal tembakan harus bergerak gesit, yang terkadang harus melintasi medan berat di lokasi peperangan.
Berangkat dari kebutuhan di atas, Dislitbangad dan Laboratorim Sistem Kendali & Komputer Institut Teknologi Bandung (ITB) merancang wahana yang disebut “Sapta Pangrungu.” Tampil dalam platfom rantis Komodo KIT 250AT, Prototipe Sapta Pangrungu (Halo) digadang dengan misi serupa radar Fire Finder. Meski sama-sama punya tugas untuk mengetahui titik atau posisi asal tembakan lawan, namun Sapta Pangrungu tidak mengadopsi azas radar, melainkan mengandalkan teknologi rambatan suara dengan frekuensi tertentu untuk mendeteksi koordinat lokasi dan jenis meriam musuh.
Baca juga: Komodo KIT 250AT – Rantis Intai Ringan Berpenggerak 2 Roda
Dikutip dari laman defsec.lskk.ee.itb.ac.id, disebutkan bahwa Sapta Pangrungu digunakan sebagai alternatif pengganti Taktik Tasmo/Art yang sudah ada. Dalam gelarnya, antar sistem HALO (client dan server) terhubung dengan menggunakan Long Range Aerial Communication secara otomatis. Unit Sapta Pangrungu juga dapat diintegrasikan dengan peran drone untuk verifikasi visual pada sasaran. (Bayu Pamungkas)